Sabtu, 26 Maret 2011

DAWUHAN KANJENG PANGERAN SUMEDANG

1. Manusia mah kudu cicing dina rasa sareng rumasa, nganggo nyalikan dina korsi eling, mayungan meja wiwaha, nu ditaplakan ku iman, nganggo amparan ku kasabaran, ditelekungan ku elmu, nu dibanderaan ku ikhlas.

2. Manusia nu lumampah kudu tutunggangan wiwaha, bulu napas, diselaan ku asihan, dikadalian ku pamilih, disebrakan ku kahormatan satia, didudukuy ku lungguh, disanggawedian ku pangarti, sareng rintih, diapis buntutna ku jujur, nganggo pecutna ku elmu, nu dicandakna banderana sabar, pangnggona ridho, soleh, pibalukareunnana kabagjaan. (Tah ieu jalanan jalmi Islam).

3. Kanggo nu nyarengannana kawalapadna Bani Adam nu disebut Islam, nu linggih dina korsi eling, sareng lumampah tunggang kuda wiwaha :
1. Ki pasrah,
2. Ki sumerah,
3. Ki ridho,
4. Ki Ikhlas,
5. Ki tumamprah, Ki sumangga, ka kudrat Illahi dikapalan ku percaya. (Iman).

4. Sawangsulna manusa ulah aya dina jagal cidra sareng ngarasula, ulah linggih dina korsi hilap sareng bengbatan, mayuna meja lalawora, nu ditaplakan ku mang-mang, ngamggo amparan ku kabarangsan, nganggo telekung ku hasud takabur, nyandak benderana haranga.

5. Anu lumampah tunggang kuda amarah, nu diselaan ku harangan, dikadalian ku dengki, disebrakan ku harak, didudukuy ku umangkuh, disanggawedian ku licik sareng delit, nganggo pecutna ku takabur, diapis buntutna ku murugul, nu dicandak benderana Bengal, panganggona bohong, pibalukareunnana bahaya.

6. Kanggo nu nyarengan kawalapadna karuna Bani Adam nu disebut Islim, linggih dina korsi bengbatan, sareng kuda amarah:
1.Ki reuwasan,
2. Ki risi,
3. Ki riweuh,
4. Ki hariwang,
5. Ki keueung,
6. Ki sieun,
dikapalan ku mang-mang numawi jalmi Islam.

Kamis, 24 Maret 2011

ILMU KACIPAKUAN

Prabu Guru Haji Aji Putih

Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh…...

Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati / Nurani...

PEPELING PRABU TAJIMALELA

Praburesi Tajimalela (Panji Romahyang) adalah pendiri Kerajaan Sumedang Larang berkedudukan di Gunung Tembong Agung disebut pula Mandala Hibar Buana (kropak 410), segenarasi dengan Prabu Ragamulya , penguasa Kawali (1340- 1350 M); (Rintisan Penelusuran Sejarah Jawa Barat Jilid Keempat. Pemda Jabar 1983-1984)

Dalam ilmu KASUMEDANGAN , tokoh ini menjadi pusat kearifan. Apa dan bagaimana karakter yang harus dipunyai seorang SATRIA (dalam lingkup khusus: Pemimpin); saya salin selengkapnya dari karya tulis stensilan berasal dari Musium Prabu Geusan Ulun, bertitimangsa 31 Juni 1995, berasal dari R. Gandi Soeria Danoeningrat, yang berasal dari R.A.A Soeriadanoeningrat, tidak diketahui siapa penulisnya dalam bentuk puisi Pupuh Asmarandana.


ASMARANDANA

1. Ciciren satria leuwih,
pageuh nyekelan jangjina,
tara ngawangkong ngabohong,
sumawonna pala cidra,
estu bener ucapna,
kasanggupna ana metu,
dibelaan pegat nyawa.

(Ciri seorang satria sejati, teguh memegang janjinya, tidak berbicara bohong, tidak pernah ingkar janji, benar yang dikatakannya, kalau sudah menyatakan kesanggupannya, berani membela sampai mati)


2. Ciciren satria leuwih,
boga bakat tumarima,
katambah leber wawanen,
dina ngabelaanana,
ka sasama ka dunungan,
ka sakur nu enggeus nulung,
ku sagala kahadean.


(Ciri seorang satria sejati, berkesadaran ikhlas hati, dan penuh keberanian, rela membela sesama manusia dan kepada atasan, kepada siapa saja yang pernah memberinya pertolongan, dengan segala cara kebaikan).


3.Ciciren satria leuwih,
boga bakat karunyaan,
estu resep mere maweh,
nulungan ka nu sangsara,
melaan nu tanpa dosa,
hirupna pikeun tutulung,
resep kana kaadilan.


(Ciri seorang satria sejati, mempunyai rasa belas kasihan, senang memberi dengan tulus hati, menolong orang yang sengsara, membela orang yang tidak berdosa, hidupnya diperuntukkan untuk menolong, menyukai kepada keadilan).


4. Tara bedegong cirigih,
teu adigung adiguna,
estu pahing nyebut "dewek"
lemes budi basana,
matak sugemaeun semah,
babaturan pada lucu,
resep ku prakprakanana.


(Tidak keras kepala dan tidak berkelakuan menyebalkan, tidak sombong merasa paling hebat, tidak pernah mengatakan "dewek/gue", halus budi bahasa, menimbulkan kebahagian para tamu karena kehangata/keramahannya, teman-teman menyenangi, menyukai perilakunya)



5. Tah kitu bakat sajati,
jauh tina pangarahan,
beunang disebut bolostrong,
teu aya pikir rangkepan,
ucap hate estu bruk-brak,
teu nyieun budi salingkuh,
teu hayang senang sorangan.

(Begitulah karakter sejati, jauh dari pamrih bagi diri sendiri, dapat dikatakan lugu apa adanya, tidak ada pikiran yang bukan-bukan, perkataan dan hati sungguh-sungguh terbuka, tidak menyembunyikan sesuatu/salingkuh, tidak menginginkan senang sendiri).


6. Tah kitu piwuruk aki,
patokan ka-Sumedangan,
babakuna handap asor,
mitutur kasatriaan,
make duduga peryoga,
nyingkahan ujub takabur,
teu agul ku kapinteran.

(Begitulah nasihat Aki, patokan/ajaran ka-Sumedangan, yang terutama adalah sopan santun, hormat, menuruti perilaku satria, menggunakan kearifan/kebijaksanaan, menjauhi keangkuhan dan takabur, dan tidak sombong karena merasa diri pandai).


7. Iyeu pepeling iseli,
dawuhan Taji Malela,
ngawuruk putra tur alon,
samulih putra peperang,
anu meh kasoran,
sanajanna Gajah Agung,
apes lantaran suaban.

(Ini adalah nasihat yang sebenarnya, ucapan/diucapkan Taji Malela, menasihati puteranya dengan suara yang lemah lembut, setelah puteranya pulang berperang, yang hampir saja perangnya kalah; meskipun Gajah Agung itu sial karena ketakaburannya/ sombong).

Pusaka Kujang Na Ga

Rabu, 23 Maret 2011

Kujang, Sarat Akan Nilai-Nilai Luhur

Oleh : Agung Ismail Mirza



Pun Sapun…

Amit seja mipit

Ngala seja rek menta

Seja muka guguaran

Seja mesek pepetetan

Nu ngalambang geusan midang



Kujang, pengertian secara umum selama ini merupakan senjata khas Orang Sunda, senjata khas yang keberadaannya di wilayah Jawa Barat, senjata yang biasa-biasa saja. Akan tetapi sebelum kewilayahan pulau Jawa dipecah menjadi bagian-bagian provinsi, Pusaka Kujang merupakan sebuah simbol daripada Jati Diri Orang Sunda, dan Sunda merupakan ajaran yang penyebarannya tidak hanya sebatas Jawa Barat saja tetapi mencakup wilayah Indonesia dan wilayah di luar Indonesia. Bukti bahwa Pusaka Kujang lebih kepada simbol dari pada senjata untuk bertempur yaitu dengan peninggalan-peninggalannya yang ditemui hampir semuanya masih dalam keadaan utuh. Walaupun rusak, itu dikarenakan oleh korosi.



Estetika yang terdapat pada Pusaka Kujang merupakan hasil dari proses yang sangat apik dari Guru Teupa (Guru Teupa merupakan seorang ahli dalam pembuatan Kujang), karena dalam proses pembuatan sebilah kujang seorang Guru Teupa harus mengikuti aturan-aturan tertentu agar kujang dapat terbentuk dengan sempurna. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah mengenai waktu untuk memulai membuat Kujang yang dikaitkan dengan pemunculan bintang di langit atau bintang kerti (Pantun Bogor). Selain itu, selama proses pengerjaan Kujang Guru Teupa harus dalam keadaan suci dengan cara melakukan olah tapa (puasa) agar terlepas dari hal-hal yang buruk yang dapat membuat kujang yang dihasilkan menjadi tidak sempurna. Beberapa Nama Guru Teupa yang terkenal antara lain Anjani, Anjali, Ramadani, Uma (guru Ciung Wanara, Abad 8 di Tatar Banten), Sombro dan Rara Sembaga. Kedua nama terakhir adalah Guru Teupa perempuan dan merupakan putri dari Guru Teupa Ramadani.



Estetika Pusaka Kujang dapat kita nikmati dari Pamor pada Pusaka Kujang. Wahyudi Rakeyan dari Kudihyang Pajajaran (kelompok Pelestari Kujang) menerangkan, didalam Ensiklopedia Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya (2000:400) menyebutkan bahwa pamor berarti benda-benda yang berasal dari luar angkasa yang digunakan sebagai bahan pembuat kujang. Sebagai catatan, terdapat beberapa pengertian mengenai kata pamor. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), pamor adalah: baja putih yang ditempatkan pada bilah keris dan sebagainya; lukisan pada bilah keris dan sebagainya dibuat dari baja putih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:720) disebutkan bahwa pamor adalah baja putih yang ditempakan pada bilah keris dan sebagainya atau lukisan pada bilah keris dan sebagainya yang dibuat dari baja putih.



Selain itu, Dalam Kamus Basa Sunda karangan Satjadibrata (1954:278) disebutkan bahwa pamor adalah “ngaran-ngaran gurat-gurat nu jiga gambar (dina keris atawa tumbak) jeung dihartikeun oge cahaya” yang artinya “pamor adalah nama garis yang menyerupai gambar (baik yang terdapat dalam keris ataupun mata tumbak) juga pamor dapat diartikan cahaya). Dalam bahasa Kawi, berarti campuran atau percampuran.



Wahyudi Kudihyang menceritakan bahwa leluhur kita dahulu kala menantikan bintang jatuh untuk dikejar dan meteoritnya dijadikan bahan pembuatan untuk Pusaka Kujang. Disaat bangsa lain masih menggunakan batu sebagai alat bantu, Orang Sunda telah menginjak penggunaan logam, maka dapat disimpulkan bahwa begitu besarnya keluhuran Budaya Sunda pada saat itu. Hal inilah yang menjadi point penting bagi orang Sunda untuk selalu bangga menjadi orang Sunda dan meneruskan kebesaran kajayaan Budaya yang kita miliki. Sungguh cerita yang menarik…

Pamor pada Pusaka Kujang merupakan hasil dari proses pelipatan-pelipatan pada saat penempaan. Pelipatan tersebut hampir mencapai 1000 lipatan. Berbeda dengan Keris, nama-nama pamor pada Pusaka Kujang tidak sebanyak nama pamor pada senjata lainnya. Titik panas pada saat penempaan diperkirakan mencapai 2000 derajat celcius yang sama dengan titik panas pada teknologi Nuklir.



Begitu sempurnanya Pusaka Kujang, walaupun bentuknya asimetris (tidak beraturan) ternyata sangat presisi (mempunyai keseimbangan), hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya Pusaka Kujang pada ujungnya.

Kegunaan dari sebilah Kujang dengan bentuknya yang tidak seperti bentuk pusaka pada umumnya ternyata memiliki multi fungsi. Berguna untuk memotong, mengampak, menyerut, menahan atau mengunci senjata lawan dan lain-lain. Bangsa barat memiliki victorinox yang dilahirkan pada abad 19 tetapi Orang Sunda telah memiliki senjata yang multi fungsi sejak abad ke 4 (hasil tes karbon/tes usia besi pada koleksi Kujang Budhi Dalton, sesosok generasi muda yang mengkaji Pusaka Kujang).



Simbol yang dimaksud Pusaka Kujang sebagai Jati Diri Orang Sunda adalah Pusaka Kujang diibaratkan sebagai perpustakaan, apabila dibuka dan dibaca ternyata menyimpan ilmu yang dapat diterapkan di berbagai bidang kehidupan. Nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi Orang Sunda saat ini. Nilai-nilai itu antara lain nilai Kepemimpinan, Ketatanegaraan, Keyakinan, Agama, Keindahan (seni), Ketekunan, Ketelitian, dan Kesabaran.



Nilai kepemimpinan tersirat pada dua sisi Pusaka Kujang yang sama tajam, hal ini dapat diartikan sebagai tingkat keluhuran ilmu seorang pemimpin yang harus mengkritisi atasannya dan mengayomi bawahannya.

Nilai ketatanegaraan tersirat pada Pusaka Kujang dengan Tri Tangtunya, yaitu Rama, Ratu dan Resi atau sama dengan pembagian untuk Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif. Tri Tangtu Kujang dapat pula diartikan sebagai Tri Tangtu di Salira (Tata Salira), Tri Tangtu di Balarea (Tata Nagara) dan Tri Tangtu di Buana (Tata Buana). Sebuah Konsep yang bersifat global.

Nilai Agama tersirat pada dua sisi Pusaka Kujang, sisi bagian dalam yang tajam melambangkan Orang Sunda yang lebih mendalami bathiniahnya daripada lahiriah. Lahiriah tersirat pada sisi punggung bilah Kujang yang tidak tajam.

Nilai keyakinan dimulai sebelum Guru Teupa menempa sampai pada saat Pusaka Kujang menjadi pegangan seseorang. Pusaka Kujang diperkirakan menjadi barang yang khusus peruntukannya karena disesuaikan dengan calon pemegangnya.

Nilai keindahan atau estetika tercermin dari bentuk-bentuk kujang yang dibuat sedemikian rupa sehingga memancarkan keindahan. Menurut Aries Kurniawan dari Estetika Pusaka Indonesia yang menyatakan bahwa ada sekitar kurang lebih 50 jenis dan bentuk yang telah didata oleh dirinya dan diperkirakan angka tersebut akan bertambah terus.

Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah Pusaka Kujang yang indah dan sarat makna.


it was published @ MAJALAH SUNDAWANI EDISI I

© MAJALAH SUNDAWANI